Mengenai Saya

Foto saya
Denpasar, Bali, Indonesia

Selasa, 22 Juni 2010

Potret Hidup

Pagi itu sang surya masih malu-malu menampakkan dirinya. Embun pagi berayun-ayun dengan nyamannya di dedaunan. Pagi yang indah. Meskipun badanku hanya terlelap satu jam saja, setelah menyaksikan siaran sepak bola piala dunia. Begitu melihat alam pagi hari yang begitu indah, serasa baru saja bangun dari tidur lamaku. Segar.

Kaki terasa ringan melangkah. Sepatu putih yang biasa aku pakai ke proyek bersedia menemaniku. Komplek perumahan masih belum kelihatan tanda-tanda kehidupan. Tampak Pak Gusti dengan pakaian adat baru saja selesai sembahyang di Sanggah Balai Banjar. Tanpa meninggalkan senyum khasnya, “ selamat pagi Pak, pagi-pagi sudah mau jalan santai nih. Kog tidak pakai sepeda?,” begitu sapanya dengan ramah kepadaku. Itu sapaan dan senyuman pertama yang aku terima di pagi ini. Yang di susul dengan sapaan ramah dari warga lain yang aku temui. Oooooh….tetangga yang baik. Sungguh Tuhan maha pengasih.

Keluar perumahan aku menuju jalan Mahendradata. Bunyi lengkingan motor menyambutku. Oh halah… beberapa anak muda lagi trek-trekan dengan motor modifikasinya. Minggu pagi, jadi lalu lintas relatif sepi. Menyusuri sudut-sudut kota Denpasar, yang selama ini cuma aku lewati pakai kendaraan atau sepeda. Ternyata beda rasanya kalau kita lewati dengan jalan kaki. Detail kehidupan kota dengan segala hiruk pikuknya terpampang dengan jelas. Potret kehidupan.

Sosok anak kecil dengan kaos kesebelasan Brasil menarik diriku untuk memperhatikannya. Dengan telanjang kaki dia berlarian kecil memainkan tas plastik kresek yang diikat dengan seutas benang. Tidak terpancarkan sedikitpun beban hidup pada anak itu. Dia bisa menikmati candanya di tengah-tengah keterbatasan kondisi sosialnya. Alat permainan yang begitu sederhana bisa memberikan suka cita tidak kalah dengan permainan di Timezone. Lingkungan sempit, pinggir sungai, rumah petak, berdampingan dengan banyak komunitas dengan tingkat kepadatan yang cukup menyesakkan. Terselip surga di situ.

Rasa hausku mengantar kakiku ke sebuah warung kecil di samping tambal ban. Aqua tanggung pun sudah di tangan. Ku dudukkan pantatku di kursi kayu samping kompressor. Tatapan mataku masih tersandera dengan tingkah laku anak kecil berkaos Brasil tadi. Setelah aku perhatikan, rumahnya ternyata hanya selisih dua rumah petak saja dari tempatku duduk. Tak berapa lama seorang wanita setengah baya berkerudungkan handuk keluar dengan membawa sepiring nasi. Di panggilnya si anak kecil itu. Dengan sigapnya itu anak menyantap sarapan paginya di teras rumah petaknya dengan duduk di tumpukan koran bekas. Tidak ada lima menit pring itupun sudah kosong. Dari jarak sekitar 3 meter aku lihat tidak terlalu istimewa menu sarapan paginya. Tidak aku lihat ada lauk di situ, hanya nasi dengan sayur kacang panjang saja. Tetapi begitu nikmatnya anak itu menghabiskan sarapannya. Terpikir olehku, terkadang istriku di rumah sudah membuatkan menu yang begitu istimewa buat anak-anak kita. Melebihi menu 4 sehat 5 sempurna. Tapi tak jarang pula anak-anakku tidak selahap itu memakannya. Bahkan tidak jarang pula nasi sayur dan lauk sampai harus di buang karena tersisa. Sungguh ironis.

Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya bertopi laken, menyandarkan sepeda tuanya yang di sambut suka cita si anak kecil itu. Sepeda tua dengan sarat muatan berisi kardus-kardus bekas, potongan besi tua, botol-botol air minum kemasan dan masih banyak lagi. Tanpa menurunkan muatannya, pria paruh baya itu langsung menggendong si kaos Brasil itu dengan gemasnya. Oooooh……keluarga yang menyenangkan. Belum juga lepas dari menggendong si kecil, si wanita setengah baya tadi keluar dengan membawa segelas air putih. Sambil tetap menggendong si kecil, pria paruh baya itu meminum dengan sekali teguk minuman persembahan istri tercintanya. Hanya segelas air putih. Di sajikan dengan penuh keikhlasan. Mengalahkan segelas coca cola yang di sajikan istri yang tidak ikhlas menyajikannya. Surga dunia. (Bersambung….)

Tidak ada komentar: